![]() |
| Versi Inggris |
Yuk langsung aja, buku ini merupakan sebuah thesis yang dibuat pengarangnya sendiri yaitu Mitch Albom bersama dosen favoritnya, Morrie Schwartz yang telah mendekati ajalnya karena penyakit ALS. Mitch sangat menyukai sang profesor saat di bangku kuliahnya. Mereka sering menghabiskan waktu di luar jam kuliah, mengobrol, mendiskusikan berbagai hal terutama sosiologi yang diajarkan Moorie dan sampai pada tahun terakhir Mitch akhirnya wisuda. Pelukan hangat Moorie dan Mitch merupakan pertemuan terakhir sampai enam belas tahun kemudian, Mitch melihat sosok yang tak asing di televisi.
Mitch lahir dari keluarga kecil yang tak memiliki banyak harta. Adiknya terkena Polio di masa kanak-kanaknya, Ibunya meninggal pada usia Mitch 8 tahun. Ayahnya seorang Rusia yang jarang berkomunikasi dan mencurahkan kasih sayang layaknya seorang ayah kepada anaknya. Akan tetapi Mitch tidak tenggelam dalam kemiskinan keluarganya, ia terus belajar dan berusaha sampai mendapatkan gelar Phd nya. Ia tidak ingin melanjutkan ke bidang kedokteran karena ia takut melihat darah. Ia pun tidak ingin melanjutkan ke bidang hukum karena ia membenci sesuatu yang tidak memiliki rasa kasihan. Ia pun akhirnya mengabdikan dirinya sebagai seorang dosen sosiologi di sebuah universitas. Ia seorang yang ramah, santai, pandai bergaul, berwawasan luas, berhati damai dan pembelot kehidupan. Mengapa gue sebut demikian... kita lanjutkan dulu ke bagian berikutnya.
Setelah sedikit gue membeberkan latar belakang Mitch, kali ini gue akan bercerita sedikit tentang Morrie. Morrie yang tadinya belum mengenal Mitch, hanyalah mahasiswa tanpa semangat belajar. Setelah masuk ke kelas Sosiologi pertama bersama Mitch, Ia menjadi semangat dan merasa dihargai. Baginya Mitch bukan hanya seorang dosen tetapi juga sebagai teman. Ketika akhirnya dia lulus dari bangku kuliah, ia pun akhirnya terjun sebagai reporter dunia olahraga. Tulisan-tulisannya muncul di berbagai media cetak maupun televisi. Namun ternyata para serikat buruh akhir-akhir ini berdemo meminta keadilan yang berujung pada terancamnya posisi Mitch untuk tidak dapat lagi memangku posisinya sebagai reporter.
Awalnya ia merasa bahwa dunia tidak akan sama apabila, masyarakat tidak lagi membaca ulasannya di koran. Namun nyatanya, dunia tetap berjalan begitu adanya walau tanpa keberadaan dirinya. Sampai suatu hari ia melihat wajah Moorie di sebuah acara televisi. Duduk di kursi rodanya dan bercerita tentang kisah hidupnya yang akan mendekati ajal. Tiba-tiba hati Mitch tertegun dan merasa wajib untuk mengunjungi dosennya itu. Ia memutuskan untuk terbang ke New York untuk berkunjung menemui Moorie. Awalnya terasa begitu canggung karena ia malu telah begitu lama "melupakan" dosen favoritnya.
Namun pertemuan pertama berlanjut sampai pertemuan ke empat belas, setiap hari selasa. Mitch datang ke rumah Moorie untuk membuat sebuah thesis tentang kehidupan. Setiap minggu mereka membahas topik-topik sensitf seputar kehidupan. Moorie yang menunggu waktu mendekati ajal membagikan cara pandang hidup yang kebanyakan diantara luput dari perhatian kita. Nah berikut ini gue akan mengambil beberapa kalimat yang diajarkan di setiap pertemuan mereka untuk gue ambil intisarinya dan gue kaitkan dengan kehidupan serta lingkungan yang gue hadapi.

PERTEMUAN PERTAMA - Kami Berbicara Tentang Dunia
(Pg55) Yang paling penting dalam hidup adalah belajar cara memberikan cinta kita, dan membiarkan cinta itu datang. Kita mengira bahwa kita tak usah peduli dengan cinta, kita mengira bahwa kalau terpengaruh kita akan jadi lembek. Tapi, orang bijak bernama Levinas pernah berkata "Cinta adalah satu-satunya perbuatan yang rasional."
Sejujurnya gue masih suka malu, gengsi dan takut dalam menyampaikan rasa cinta gue ke orang-orang terdekat, even to my mom or sister. Bukan kebiasaan gue untuk mengatakan "Aku sayang mama, aku sayang cici dst", bahkan ketika gue menyukai seseorang pun gue takut untuk berkata "gue suka sama lo".
Mungkin dengan lebih banyak mengekspresikan rasa cinta gue, diri gue akan terasa lebih hidup dan ringan :)
PERTEMUAN KEDUA - Kami Berbicara Tentang Mengasihani Diri Sendiri
(Pg61) "Aku memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis kalau itu perlu. Tapi setelah itu aku memusatkan perhatianku kepada segala hal yang masih baik dalam hidupku. Alangkah baiknya bila orang dapat menahan diri untuk tidak menangisi diri berkepanjangan. Cukup beberapa tetes air mata setiap pagi, lalu bersyukur atas kesempatan yang didapatkan untuk kemudian menghadapi hari yang tegar."
Kadang rasa kesal yang gue rasakan dalam dada memuncak dan akhirnya air mata mengalir. Kesal karena tidak dapat menerima keadaan yang terjadi termasuk ketika bokap gue meninggal. Hmm, masi kadang gue suka menangis mengingat waktu-waktu yang gue habiskan dengan bokap berdua atau bersama keluarga. Air mata gue memang telah kering, namun kerelaan itu masih belum bisa gue berikan seutuhnya. Gue berusaha menjalankan hidup dengan tegar, bersyukur atas kejadian ini. Berusaha mencari nilai positif dan optimis ;)
PERTEMUAN KETIGA - Kami Bicara Tentang Penyesalan Diri
(Pg68) Mitch bertanya kepada Morrie penyesalan apa yang dirasakannya begitu tahu bahwa kematiannya sudah di ambang pintu. Apa saja yang ingin diperbaikinya, apakah kau terhanyut dalam kekecewaan karena semua yang telah terlewatkan, ataupun menyesal karena telah menyimpan begitu banyak rahasia.
"Budaya kita tak mendorong kita memikirkan hal-hal semacam ini sampai kematian hanmpir menjemput kita, Kita begitu terbelit dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan duniawi, karir, uang mobil baru dll. Maka kita tidak terbiasa berdiam diri sejenak untuk merenungkan hidup kita dan berkata "Hanya inikah yang kuinginkan? Adakah sesuatu yang hilang?"
Mungkin maksud dari pernyataan diatas, bahwa kita jangan sampai menyesal atas apapun pilihan hidup kita. Kalau memang sudah terlanjur, jalanilah dan nikmatilah. Kalau membicarakan penyesalan gue masuk jurusan Fikom itu seperti sebuah jalan kesasar loh, padahal gue suka masak dan menyukai dunia memasak. Tetapi gue selalu coba untuk nikmati dan jalani jalan yang telah gue pilih. Masuk ke dunia komunikasi, membuat diri gue untuk lebih berani dalam mengungkapkan pendapat, gagasan, dan menonjolkan diri sebagai seorang pemimpin. Ilmu-ilmu yang gue dapatkan menjadi senjata kecil untuk menghadapi dunia di luar sana :)
PERTEMUAN KEEMPAT - Kami Bicara Tentang Kematian
(Pg86) Setiap orang tahu mereka akan mati, tapi tak seorang pun percaya itu akan terjadi pada mereka sendiri. Kalau saja kita percaya, kita akan mengerjakan segala sesuatu secara berbeda. Kebanyakan kita hidup seperti orang yang berjalan sambil tidur. Kita sesungguhnya tidak menghayati dunia ini secara penuh, karena kita separuh terlelap, mengerjakan semuanya yang terpikir oleh kita. Ketika sadar bahwa kita akan mati, kita melihat segala sesuatu secara berbeda. Belajar tentang cara mati, maka kita belajar tentang cara hidup.
Intinya sih jangan terlalu terpaku dengan sesuatu yang bersifat kebendaan. Untuk apa sih pakai baju bermerek toh tetap saja fungsi nya hanya menutup aurat dan melindungi badan dari cuaca langsung. Tetapi di masyarakat, kita dipandang dari apa yang kita kenakan. Gue si sering kali berpikir pakai baju apa ya biar kelihatan menarik dst. Gue masih berpikir tentang kebendaan, walaupun sering kali ketika melihat seseorang yang berpenampilan serba wah sambil dalam hati "gwela emang ga cukup ya pakai jam tangan biasa, gimana ya rasanya pas mau beli hanya sebuah jam tangan tapi harga nya puluhan juta rupiah....." naif.....
PERTEMUAN KELIMA - Kami Bicara Tentang Keluarga
(Pg96) Sesungguhnya, selain keluarga, tidak ada fondasi atau landasan kokoh yang memungkinkan manusia bertahan sampai saat ini. Tanpa dukungan, cinta, kasih sayang dan perhatian yang kita peroleh dari keluarga, kita seperti tidak memiliki apapun.
Yup intinya ketika lo menghadapi kesulitan apapun keluarga lo pasti akan dukung lo. Gue jadi ingat ketika gue putus sama pacar gue jaman SMA. Cici gue dan gue lagi nonton film drama Taiwan, dan kebetulan memang cerita nya sedih, gue nangis kan, tapi nangis nya nyampur. 20% nangis film 80% nangis karna putus.. huhu.. tapi cici gue bilang gini "wa bsok kalo mata lo bengkak bilang aja abis nonton film taiwan, kan ini lo lagi nonton." HAHA walaupun ga dengan cara yang terbuka tapi gue berasa itu seperti hiburan kecil di kala gue merana.
Trus ada satu lagi haha, jaman setahun yang lalu sepertinya. Gue lagi bazaar di sebuah tempat dan ternyata penjualan sangat sedikit karena ada pesaing gue yang hanya berjarak 2 stand. Pas gue telpon ke cici gue, gue lsg terisak cengeng wkwk. lalu cci gue langsung bilang "Ngapain nangis sih, bla3...." gue bahkan lupa dia bilang apa wkwkw.. intinya saat itu gue merasa terhibur dan di rangkul ketika menghadapi masalah.
PERTEMUAN KEENAM - Kami Bicara Tentang Emosi
(Pg 109) Salah satu ajaran Buddhisme, Jangan mengikatkan diri pada kebendaan, karena segala sesuatu tidak kekal. Ayo Matikan Perasaanmu. Bagaimana caranya ?
Kita harus membiarkan pengalaman meresap secara penuh, Itulah sebabnyya kemudian kita bisa mematikan rasa. Kita harus membiarkan diri mengalami segala emosi yang sedang kamu rasakan, jangan terlalu sibuk menghadapi rasa takut. Dengan membiarkan diri mengalami emosi-emosi ini, dapat membiarkan diri terjun ke dalamnya, sampai sejauh-jauhnya, kita akan mengalaminya secara penuh dan utuh.
Betapa sering kita merasa kesepian, kadang sampai sangat ingin menangis tetapi kita berusaha keras untuk tidak mengeluarkan air mata karena kata orang kita tidak boleh menangis.
Hmm, ketika gue kesepian gue merana dan menangis apalagi ketika ingat masa-masa senang bersama bokap. Sehabis itu gue menyeka air mata dan beraktifitas seperti biasanya. Karna gue sudah mengalami dan meresapi nya secara utuh.
Ketika nonton bioskop bersama teman2, ada bagian sedih dimana memang gue pasti mengeluarkan air mata, tapi gue tahan sampai akhirnya cuma berada di ujung mata. Gengsi kalau kata orang.
Bahkan belakangan ini, ketika drama singapur yang gue tonton memperlihatkan kesedihan yang mirip dengan yang gue alami, gue langsung kabur dan tidak mau lanjut menonton, karena gue tau gue akan menangis meraung-raung... huff takut menghadapi kesedihan...
Ada juga ketika gue menyukai seseorang dan tidak berani mengungkapkannya sampai akhirnya semua berubah dan membuat keadaan menjadi runyam. Sebaiknya dalami dan selalu ambil keputusan tanpa penyesalan :)
PERTEMUAN KETUJUH - Kami Bicara Tentang Takut Menjadi Tua
(Pg125) Semakin bertambah usia kita, semakin banyak yang kita pelajari. Penuaan tidak hanya berarti pelapukan, tetapi juga pertumbuhan. Penuaan tidak hanya bermakna negatif, bahwa kita mengerti kenyataan bahwa kita akan mati, dan karena itu kita berusahan untuk hidup dengan cara yang lebih baik.
Jika kalian terus bersikeras melawan proses penuaan, kalian akan selalu merasa tidak bahagia, karena bagaiamanapun itu akan terjadi. Justru kita harus mencari apa yang baik, benar, dan indah dalam masa hidup kita yang sedang kita jalani
Gue melihat nyokap gue rasanya dia begitu menikmati hidup di umurnya sekarang, walaupun Ia masih harus bekerja banting tulang di umurnya yang sudah tidak muda lagi. Tetapi ia meresapi apa yang di jalani sekarang. Kebebasan yang ia miliki, waktu luang, teman-teman, menengok cucu dan merencanakan liburan bersama kawan. Senang rasanya melihat Ia begitu bersemangat untuk mendapati semua hal yang baik. Semoga mendapatkan semua yang baik :)

0 comments:
Post a Comment